Friendship Never End
Karya : Galih Rahmawati
Terra dan Rena adalah sepasang insan yang saling bergandengan tangan,untuk mengarungi beratnya seuntai perjalanan persahabat,menuju keabadian kasih seorang sahabat. Rena,seorang manusia yang mempunyai kelapangan hati,kesetian,dan kasih sayang yang tak akan habis,selalu menemani Terra adalah kebahagiaan bagi dirinya. Sampai suatu hari Terra bertemu dengan Onna,Onna bagaikan seorang kakak bagi Terra,karena Onna telah berjasa menyelamatkan Terra dari kejaran si preman pasar di dekat SDnya dahulu.
Semenjak kedatangan Onna,lambat laun Rena mulai nampak menjauh,menjauhi Terra sesuatu yang belum pernah dilakukannya kepada Terra. Dengan kepolosan hatinya Terra membutuhkan segudang waktu untuk menyadari bahwa sahabatnya,Rena menjauh dan semakin menjauhinya. Terra dan Onna mulai menerka – nerka.”Apa yang terjadi? Apakah dia merasa sedikit malu kepadamu,Onna! Apakah ada yang salah dengan persahabatan kita?”,begitulah kata-kata yang tercetus dari bibir polos Terra.
Saat fajar tiba pun mulai datang,diiringi dentingan bel tanda mulainya kegiatan belajar mengajar,Onna yang duduk disebelah kanan dan Terra yang berada di sebelah kiri Rena pun memulai pertanyaannya kepada Rena,tetapi Rena hanya terdiam seperti tak mendengar dan memerhatikan sekitarnya dia nampak enggan menanggapi perkataan Terra dan Onna,hingga akhirnya ia memilih untuk pergi begitu saja dengan mengayuh sepeda gunung yang nampak menuju rumahnya.
Disaat sang surya mulai nampak di atas ubun-ubun,Terra dan Onna pergi menuju rumah Rena,berboncengan dengan sepeda mini kecil,yang putaran rodanya terasa begitu pelan karena banyaknya terpaan angin yang menerjang,tetapi setibanya dirumah Rena,rumah Rena telah kosong,Rena telah pergi meninggal kota kelahiranya,dan sekarang tak diketahui keberadaannya.
Sehari,seminggu,sebulan,setahun,2 tahun Terra dan Onna masih menunggu dan menunggu pertemuannya dengan Rena yang entah kapan akan terjadi. Lambat laun mereka menyadari bahwa kehidupan mereka harus tetap berjalan walau pun seorang Rena telah jauh dari sisinya.
Disaat Terra dan Onna mulai bersekolah di salah satu SMA favorit di Surabaya(tempat kelahirannya),mereka mulai menemukan kehidupan baru,Terra mulai merasakan jatuh cinta,dan Onna pun demikian. Terra menaruh harapan yang begitu besar kepada seorang kakak kelasnya di kelas XIIA-1,dan Onna hanya mengungkapkan kalau dia sedang jatuh cinta kepada anak kelas X.
Sebagai sosok kecil laki-laki yang selalu nampak cool,Onna selalu menyembunyikan rasa cintanya kepada sesosok cantik yang sebenarnya ia cintai,kecuali ibunya. Sikab Terra dan Onna dalam hal ini sangat berbanding terbalik,Terra yang selalu mengungkapkan rasa cintanya kepada orang yang ia sukai,tidak bisa tenang saat di dekatnya,sangat berlawanan dengan Onna.
Hingga suatu saat Terra mengungkapkan perasaannya kepada sang kakak di kelas XIIA-1,”Kak,aku sudah lama memperhatikan kakak aku boleh nggak suka sama kakak,kakak mau nggak jadi pacarku?“,dan dengan polosnya pula kak Adam(nama kakak kelas XIIA-1) menjawabnya,”Maaf dik,oh ya kamu Terra ya,aku sering liat kamu di depan kelas dan kayaknya kamu suka ngeliatin temenku ya ? Aku kira kamu suka sama temenku,maaf ya sekarang aku sudah punya pacar,maaf ya.”.
Setelah kejadian tersebut Terra mulai murung,matanya tampak redup,dan hatinya nampak mendung,karena dari sekian seringnya ia jatuh cinta baru kali ini dia merasakan sakitnya ditolak. Untuk melampiaskan kesedihannya,kini Terra mempunyai hobi baru,pergi keperpustakaan,membaca novel cinta yang selalu saja menceritakan sepetik bahkan seikat kisah patah hati. Di perpustakaan itu Terra sering bertemu dengan kak Jimo,seorang kutu buku dari kelas XIA-1,yang lama kelamaan mulai dekat dengannya,hingga Terra pun tak menyadari kesedihan Onna menyasikan kedekatan Terra dan Kak Jimo.
Hingga suatu hari kak Jimo mengungkapkan perasaannya pada Terra,tetapi Terra,tentu saja Terra menerimanya karena Terra juga menyukai kak Jimo. Setelah Terra menjadi pacar kak Jimo,Onna mulai nampak berubah,dia mulai berubah menjadi pemarah,jiwanya nampak begitu labil,dan kali ini Terra menyadarinya,tetapi Terra tidak mampu menanyakannya secara langsung karena Onna pasti tidak mau menjawabnya. Lalu Terra memilih untuk menannyakan hal ini kepada Ibu Onna namanya Bu Shyerly,dan dia pun mendapat jawaban yang mencengangkan,”Begini Ter,sebenarnya Onna itu suka sama kamu,dia sering bicara sama ibu dan dia bilang kamu itu orang kedua yang tercantik di dunia setelah Ibu,cintanya juga tulus untuk kamu.”. setelah mendengar jawaban itu Terra langsung merasa bersalah,hingga akhirnya Terra bersama kak Jimo memilih untuk membicarakan hal itu bersama Onna,dan Onna akhirnya dapat menerimanya dengan kedewasaan.
Hari demi hari berlalu saat-saat outdoor bagi kelas X pun akhirnya datang,mereka melakukan perjalanan ke Lombok,perjalanan mereka berlangsung menyenangkan,hingga saat-saat menyedihkan pun tiba. Terra melihat seorang perempuan seusianya yang sedang duduk di atas kursi roda sambil memegang sekotak coklat yang dijajakannya disekitar pantai. Lalu Terra membelikan sekotak coklat yang akan diberikannya kepada kak Jimo dan Onna. Saat Terra melihat wajah si perempuan penjual coklat itu ia mulai mengingat dan menyadari,bahwa ternyata gadis itu adalah Rena,teman masa kecilnya dahulu,yang akhirnya ia ajak bicara.
Dari pembicaraan singkat mereka berdua,Terra menyadari bahwa ternyata Rena bukan merasa malu kepada Onna,tetapi Rena merasa malu karena ia mengidap suatu penyakit aneh yang menyebabkannya lumpuh,dan ia takut jika teman – temannya mengetahui,maka mereka akan menjauhinya,dan setelah ia pindah ke Lombok,dia tidak akan malu karena ia akan bertemu dengan orang-orang yang senasip dengannya karena ia akan bersekolah di Sekolah Luar Biasa,itu menurudnya padahal sebenarnya teman-teman Rena akan senang jika bertemu dengan temannya setiap hari.
Dan dari pembicaraan mereka itu Terra meyakinkan Rena bahwa teman-teman Rena akan selalu menyayanginya,dan akhirnya ia berhasil membujuk Rena untuk kembali ke Surabaya dan kembali bertetangga dengan Terra. Hari-hari Terra,Rena,dan Onna kembali bahagia seperti saat SD daulu,tetapi mereka tidak di sekolah sama lagi,karena Rena perlu sekolah yang istimewa bagi dirinya.
Dan akhirnya teman sejati tetap jadi teman sejati,friends forever tetap jadi friend forever.
Coba Kau Jadi Aku
Karya : Ayla Yuca Pratiwi
Kutatap layar handphoneku. Masih sama. Kosong. Jantungku berdetak tak karuan. Adi ada di mana sekarang, kenapa tak kunjung datang? Belasan pesan singkat yang aku kirimkan kepadanya tak kunjung ada balasan. Pikiranku melompat jauh kemana-mana. Rasa gelisah yang berlebihan mulai datang, namun segera kutampis. Aku tak boleh berlebihan, itu pesan Adi kepadaku. Aku terus menunggunya sampai beberapa saat di depan sekolah. Awan gelap mulai menyelimuti, dan hujan deras pun turun. Tubuhku kini telah basah kuyup bermandikan air hujan. Kurapatkan tanganku, mengusap-usapnya agar tetap hangat. Satu jam berlalu setelah hujan ini, namun Adi tak kunjung datang. Mungkin dia memang tidak akan datang. Kuputuskan untuk pulang ke rumah dengan jalan kaki. Cukup jauh memang jarak rumahku dengan sekolah, kira-kira 2 km. Aku tak bisa memilih jalan lain selain jalan kaki, karena di rumah tidak ada kendaraan. Naik angkutan umum juga sudah tidak ada jika sesore ini. Di tengah perjalanan aku terus memikirkannya. Adi yang sekarang bukan Adi yang aku kenal dulu. Dia berubah, benar-benar telah berubah. Adi yang dulu penuh kasih sayang dan perhatian. Adi yang selalu sabar menghadapiku dan tak pernah bisa jauh dariku, tapi kini semua berkebalikan 180 derajat. Semua itu terjadi semenjak kita berada di sekolah yang berbeda. Dia berubah semenjak semua yang dia mau bisa dia dapatkan. Jadi pengurus OSIS, punya band, tenar di sekolah dan bahkan dia punya banyak penggemar. Sempat muncul rasa benciku pada sekolahnya, tapi kurasa itu tak perlu. Hal itu tak akan merubah Adi yang ada sekarang, menjadi Adi yang dulu lagi. Tanpa terasa tetesan air mata berlinangan melewati pipiku. Ini sudah kesekian kalinya dia membuatku menangis, lagi.
Kini aku telah sampai di rumah, rumahku yang sederhana. Jelas berbeda jauh dengan rumah yang Adi miliki. Dia punya segalanya, sedang aku sebaliknya. Hal itu sering membuatku merasa terpinggir. Malu dengan para penggemarnya. Bukan malu karena kehidupanku yang sederhana, tapi malu karena aku berani menjadi pacarnya Adi. Mereka justru lebih pantas dengan Adi. Hinaan dan cacian sering kudengar keluar dari mereka-mereka yang menyukai Adi. Tapi aku bisa apa? Kenyataan memang seperti itu, aku gadis biasa, tak punya apa-apa yang bisa membuat Adi bahagia, selain rasa sayang yang tulus yang aku punya. Kumasuki kamar, mandi dan berganti pakaian. Kepalaku kini terasa berat, mungkin karena terlalu lama tersiram hujan. Aku masih mencoba melihat handphoneku, tapi tetap masih sama, kosong. Jika aku bisa marah, hari ini aku pasti akan marah, tapi tidak, aku tidak bisa. Aku harus mengalah. Lebih baik aku sendiri yang sakit, daripada aku harus melihat orang yang aku sayangi tersakiti. Kupikir lebih baik aku tidur, mungkin ketika aku bangun nanti, akan ada pesan singkat dari Adi. Aku terlelap tidur. Dalam tidurku, aku memimpikannya. Bermimpi tentang saat-saat bahagia kita sewaktu dulu, semua indah, rasanya aku tak ingin bangun.
Minggu pagi yang cerah. Cahaya matahari menyambutku dengan lembut. Ku ambil handphoneku. Hasilnya nihil. Adi masih tetap tidak membalas pesanku. Sekarang aku coba menghubunginya. Terdengar nada sambung. Dari sisi sana terdengar suara yang aku nanti-nantikan sejak kemarin.
"Halo? Ada apa? Ngapain pagi-pagi gini telepon?" jawab Adi dari ujung telepon sana. Sepertinya dia baru saja bangun tidur. Suaranya terdengar malas, mungkin aku mengganggu.
"Halo. Maaf ya kalau aku mengganggu. Kamu kemarin kemana? Aku menunggumu." jawabku lirih.
"Iya ganggu banget. Aku tu masih capek malah kamu telepon pagi-pagi. Aku kemarin ada acara latihan band di sekolah. Aku nggak punya pulsa buat balas SMS-mu." ujarnya dengan nada marah.
"Maafin aku ya, aku nggak bermaksud begitu. Tolong jangan marah, aku cuma kawatir sama kamu. Takut ada apa-apa. Aku ingin ketemu kamu, boleh ya nanti aku ke rumahmu." pintaku padanya. Suaraku kini sedikit parau. Aku menahan tangis yang sedari tadi ingin keluar. Tapi aku tak boleh menangis. Tangisan tak kan membuat apa-apa berubah menjadi lebih baik.
"Terserah kamu lah, aku capek, pusing tau! Aku tu lagi demam malah kamu tambah-tambahin, dasar! Sudahlah aku mau tidur lagi, Jangan telepon-telepon terus!" jawab Adi. Kali ini suaranya benar-benar keras. Dia membentakku lalu menutup teleponnya dengan kasar.
Aku memang selalu salah dihadapannya, tak pernah benar. Aku telah melakukan semua yang aku bisa untukknya, tapi tak pernah dia peduli. Hati ini memang sakit, namun aku terlampau menyayanginya. Hubungan kami ini sudah berjalan 3 tahun, terlalu berat untukku menghapus perasaan yang menghinggapi jiwaku. Aku memilih untuk mengalah.
Jam berdetak menunjukkan pukul 10.00 a.m. Ku kemas masakan yang telah aku buat dan obat-obatan seadanya untuk kubawa ke rumah Adi. Kukayuh sepedaku perlahan sambil sesekali menyeka keringat. Sebenarnya tubuhku belum pulih total karena guyuran hujan kemarin. Kepalaku masih pening dan terkadang mataku sedikit kabur, namun sepeda tetap ku kayuh. Aku harus segera sampai ke rumah Adi dan merawatnya. Semoga dia senang dengan kehadiranku.
Akhirnya aku sampai di rumah Adi, rumah besar bertingkat berwarna krem. Kulihat sudah ada 2 motor terparkir di sana. Tapi kurasa itu bukan motor orang tuanya, karena jam-jam ini orang tuanya pasti sedang kerja. Dari luar aku mendengar suara tawa perempuan dan laki-laki yang berada di rumahnya.Sedikit kuintip pintu rumahnya, benar ada seorang perempuan dan tiga orang laki-laki termasuk Adi sedang bercanda gurau. Adi terlihat sangat sehat. Aku tak berani masuk. Kukirim sebuah pesan singkat untuk Adi. Dari luar sini aku aku melihat Adi membuka handphonenya lalu meletakkannya begitu saja, entah di buka atau tidak pesan dariku. Lama aku menunggu di luar namun Adi tak kunjung membuka kan pintu. Kucoba untuk muncul di depan gerbangnya "Ehm" hanya suara itu yang berhasil keluar dari mulutku. Entah apa yang Adi katakan pada teman-temannya, kini mereka menatapku sambil tertawa. Seperti aku ini adalah badut bahan tertawaan mereka. Di situ hatiku begitu hancur. Air mata hampir saja berlinang di wajahku namun segera kuhapus. Aku berbalik dan segera bergegas pergi. Tiba-tiba Adi datang menepuk pundakku dari belakang.
"Hei mau kemana kok buru-buru. Jangan malu-maluin gitu ah, ada teman-temanku tu. Kalau mau masuk, masuk aja." ujar Adi, masih dengan tawanya yang penuh penghinaan bagiku. Kata-katanya menyakitkan.
Aku berbalik dan kubuang tangannya yang menempel di pundakku. "Kamu nggak punya perasaan, kamu jahat! Aku nggak nyangka kamu bisa jadi setega ini. Dari tadi aku nunggu kamu, tapi malah tawaan penuh hina yang kamu kasih ke aku. Puas kamu!" jawabku marah. Kini air mata berlinang bebas membasahi wajahku. Adi diam melihatku seperti itu. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Begitu juga teman-temannya, hanya melihatku dan Adi.
"Kamu pikir yang selama ini aku lakuin buat kamu itu apa? Aku menahan semua sakit hati yang kamu kasih, tapi ini balasan kamu? Kamu nggak tahu kan rasanya jadi aku? COBA KAMU JADI AKU! Mungkin kamu akan memilih untuk bunuh diri. Kemarin aku menunggumu, sampai kehujanan tapi kamu tak sedikit pun merasa bersalah kan, apa lagi peduli. Aku tahu aku ini memang perempuan bodoh yang maunya saja kamu sakiti dan tak berbuat apa-apa. Aku memang hanya bisa membuatmu malu. Selama ini kamu hanya menganggapku sampah kan! Aku memang hanya perempuan miskin yang tak punya apa-apa untuk aku berikan kepadamu. Tapi asal kamu tahu, aku punya cinta dan sayang yang tulus untuk kamu yang tidak semua orang bisa memberikannya. Sekarang lebih baik kita akhiri saja semuanya sampai di sini, itu kan maumu selama ini! Aku sudah lelah menjadi robotmu, lelah menjadi orang bodoh. Terimaksih untuk sakit hati yang selama ini kamu berikan untukku. Semoga suatu saat Tuhan mengajarimu untuk mengetahui bagaimana rasanya jadi aku, agar kamu bisa lebih menghargai orang yang tulus menyayangimu." tambahku. Amarahku benar-benar tidak bisa terbendung lagi. Sakit yang aku rasakan selama ini telah memuncak. Aku bergegas pergi, lari sekencang yang aku bisa. Kujatuhkan sepeda yang sedari tadi kupegangi. Makanan dan obat-obatan yang sudah aku siapkan untuk Adi jatuh berserakan. Kudengar dari belakang Adi memanggil-manggil namaku, dia mengejarku, namun tak ku pedulikan.
Adi yang sudah tidak bisa mengejarku lagi, kembali menuju makanan dan obat-obatan yang telah berserakan. Dia sadar bahwa selama ini apa yang dia lakukan padaku salah. Dia menangis, menyesali perbuatannya.
Setelah kejadian itu, aku mengisi hari-hariku dengan hal yang lebih bermanfaat. Aku aktif mengikuti kegiatan di sekolah. Waktuku bahkan hampir habis untuk sekolah. Aku kini menjadi pengurus OSIS, mengikuti berbagai ekstra dan lomba yang ada. Tidak hanya dalam kegiatan, prestasiku kini juga semakin gemilang. Aku mendapat beasiswa untuk bersekolah di Amerika. Semua ini berkat dukungan keluarga dan teman-teman. Akhirnya aku bisa terbebas dari keterpurukanku selama ini. Aku bisa membuktikan kepada Adi, kepada penggemar-penggemarnya yang dulu sering mencaciku, dan kepada semua orang bahwa aku bisa menjadi yang terbaik. Harusnya dari dulu aku seperti ini daripada hanya menyiksa perasaanku sendiri dan menjaga perasaan seseorang yang sama sekali tak peduli padaku.
Adi sekarang menjadi sering menghubungiku, dia selalu meminta maaf padaku. Dia mengajakku untuk menjadi pacarnya lagi, namun kurasa tidak lagi, semua itu sudah cukup. Aku ingin Adi bisa menjadi orang yang lebih bisa menghargai orang lain.
"Ingat, penyesalan tak mungkin ada di awal, tapi akan selalu berada di akhir. Jagalah apa yang saat ini kamu punya. Jangan pernah menyia-nyiakan orang lain yang secara tulus ada dan hadir untukmu. Belajarlah untuk menghargai orang lain jika dirimu ingin di hargai."
Salam sayang ^_^ : @aylamoca05
~THE END~
Coba Kau Jadi Aku
Karya : Ayla Yuca Pratiwi
Kutatap layar handphoneku. Masih sama. Kosong. Jantungku berdetak tak karuan. Adi ada di mana sekarang, kenapa tak kunjung datang? Belasan pesan singkat yang aku kirimkan kepadanya tak kunjung ada balasan. Pikiranku melompat jauh kemana-mana. Rasa gelisah yang berlebihan mulai datang, namun segera kutampis. Aku tak boleh berlebihan, itu pesan Adi kepadaku. Aku terus menunggunya sampai beberapa saat di depan sekolah. Awan gelap mulai menyelimuti, dan hujan deras pun turun. Tubuhku kini telah basah kuyup bermandikan air hujan. Kurapatkan tanganku, mengusap-usapnya agar tetap hangat. Satu jam berlalu setelah hujan ini, namun Adi tak kunjung datang. Mungkin dia memang tidak akan datang. Kuputuskan untuk pulang ke rumah dengan jalan kaki. Cukup jauh memang jarak rumahku dengan sekolah, kira-kira 2 km. Aku tak bisa memilih jalan lain selain jalan kaki, karena di rumah tidak ada kendaraan. Naik angkutan umum juga sudah tidak ada jika sesore ini. Di tengah perjalanan aku terus memikirkannya. Adi yang sekarang bukan Adi yang aku kenal dulu. Dia berubah, benar-benar telah berubah. Adi yang dulu penuh kasih sayang dan perhatian. Adi yang selalu sabar menghadapiku dan tak pernah bisa jauh dariku, tapi kini semua berkebalikan 180 derajat. Semua itu terjadi semenjak kita berada di sekolah yang berbeda. Dia berubah semenjak semua yang dia mau bisa dia dapatkan. Jadi pengurus OSIS, punya band, tenar di sekolah dan bahkan dia punya banyak penggemar. Sempat muncul rasa benciku pada sekolahnya, tapi kurasa itu tak perlu. Hal itu tak akan merubah Adi yang ada sekarang, menjadi Adi yang dulu lagi. Tanpa terasa tetesan air mata berlinangan melewati pipiku. Ini sudah kesekian kalinya dia membuatku menangis, lagi.
Kini aku telah sampai di rumah, rumahku yang sederhana. Jelas berbeda jauh dengan rumah yang Adi miliki. Dia punya segalanya, sedang aku sebaliknya. Hal itu sering membuatku merasa terpinggir. Malu dengan para penggemarnya. Bukan malu karena kehidupanku yang sederhana, tapi malu karena aku berani menjadi pacarnya Adi. Mereka justru lebih pantas dengan Adi. Hinaan dan cacian sering kudengar keluar dari mereka-mereka yang menyukai Adi. Tapi aku bisa apa? Kenyataan memang seperti itu, aku gadis biasa, tak punya apa-apa yang bisa membuat Adi bahagia, selain rasa sayang yang tulus yang aku punya. Kumasuki kamar, mandi dan berganti pakaian. Kepalaku kini terasa berat, mungkin karena terlalu lama tersiram hujan. Aku masih mencoba melihat handphoneku, tapi tetap masih sama, kosong. Jika aku bisa marah, hari ini aku pasti akan marah, tapi tidak, aku tidak bisa. Aku harus mengalah. Lebih baik aku sendiri yang sakit, daripada aku harus melihat orang yang aku sayangi tersakiti. Kupikir lebih baik aku tidur, mungkin ketika aku bangun nanti, akan ada pesan singkat dari Adi. Aku terlelap tidur. Dalam tidurku, aku memimpikannya. Bermimpi tentang saat-saat bahagia kita sewaktu dulu, semua indah, rasanya aku tak ingin bangun.
Minggu pagi yang cerah. Cahaya matahari menyambutku dengan lembut. Ku ambil handphoneku. Hasilnya nihil. Adi masih tetap tidak membalas pesanku. Sekarang aku coba menghubunginya. Terdengar nada sambung. Dari sisi sana terdengar suara yang aku nanti-nantikan sejak kemarin.
"Halo? Ada apa? Ngapain pagi-pagi gini telepon?" jawab Adi dari ujung telepon sana. Sepertinya dia baru saja bangun tidur. Suaranya terdengar malas, mungkin aku mengganggu.
"Halo. Maaf ya kalau aku mengganggu. Kamu kemarin kemana? Aku menunggumu." jawabku lirih.
"Iya ganggu banget. Aku tu masih capek malah kamu telepon pagi-pagi. Aku kemarin ada acara latihan band di sekolah. Aku nggak punya pulsa buat balas SMS-mu." ujarnya dengan nada marah.
"Maafin aku ya, aku nggak bermaksud begitu. Tolong jangan marah, aku cuma kawatir sama kamu. Takut ada apa-apa. Aku ingin ketemu kamu, boleh ya nanti aku ke rumahmu." pintaku padanya. Suaraku kini sedikit parau. Aku menahan tangis yang sedari tadi ingin keluar. Tapi aku tak boleh menangis. Tangisan tak kan membuat apa-apa berubah menjadi lebih baik.
"Terserah kamu lah, aku capek, pusing tau! Aku tu lagi demam malah kamu tambah-tambahin, dasar! Sudahlah aku mau tidur lagi, Jangan telepon-telepon terus!" jawab Adi. Kali ini suaranya benar-benar keras. Dia membentakku lalu menutup teleponnya dengan kasar.
Aku memang selalu salah dihadapannya, tak pernah benar. Aku telah melakukan semua yang aku bisa untukknya, tapi tak pernah dia peduli. Hati ini memang sakit, namun aku terlampau menyayanginya. Hubungan kami ini sudah berjalan 3 tahun, terlalu berat untukku menghapus perasaan yang menghinggapi jiwaku. Aku memilih untuk mengalah.
Jam berdetak menunjukkan pukul 10.00 a.m. Ku kemas masakan yang telah aku buat dan obat-obatan seadanya untuk kubawa ke rumah Adi. Kukayuh sepedaku perlahan sambil sesekali menyeka keringat. Sebenarnya tubuhku belum pulih total karena guyuran hujan kemarin. Kepalaku masih pening dan terkadang mataku sedikit kabur, namun sepeda tetap ku kayuh. Aku harus segera sampai ke rumah Adi dan merawatnya. Semoga dia senang dengan kehadiranku.
Akhirnya aku sampai di rumah Adi, rumah besar bertingkat berwarna krem. Kulihat sudah ada 2 motor terparkir di sana. Tapi kurasa itu bukan motor orang tuanya, karena jam-jam ini orang tuanya pasti sedang kerja. Dari luar aku mendengar suara tawa perempuan dan laki-laki yang berada di rumahnya.Sedikit kuintip pintu rumahnya, benar ada seorang perempuan dan tiga orang laki-laki termasuk Adi sedang bercanda gurau. Adi terlihat sangat sehat. Aku tak berani masuk. Kukirim sebuah pesan singkat untuk Adi. Dari luar sini aku aku melihat Adi membuka handphonenya lalu meletakkannya begitu saja, entah di buka atau tidak pesan dariku. Lama aku menunggu di luar namun Adi tak kunjung membuka kan pintu. Kucoba untuk muncul di depan gerbangnya "Ehm" hanya suara itu yang berhasil keluar dari mulutku. Entah apa yang Adi katakan pada teman-temannya, kini mereka menatapku sambil tertawa. Seperti aku ini adalah badut bahan tertawaan mereka. Di situ hatiku begitu hancur. Air mata hampir saja berlinang di wajahku namun segera kuhapus. Aku berbalik dan segera bergegas pergi. Tiba-tiba Adi datang menepuk pundakku dari belakang.
"Hei mau kemana kok buru-buru. Jangan malu-maluin gitu ah, ada teman-temanku tu. Kalau mau masuk, masuk aja." ujar Adi, masih dengan tawanya yang penuh penghinaan bagiku. Kata-katanya menyakitkan.
Aku berbalik dan kubuang tangannya yang menempel di pundakku. "Kamu nggak punya perasaan, kamu jahat! Aku nggak nyangka kamu bisa jadi setega ini. Dari tadi aku nunggu kamu, tapi malah tawaan penuh hina yang kamu kasih ke aku. Puas kamu!" jawabku marah. Kini air mata berlinang bebas membasahi wajahku. Adi diam melihatku seperti itu. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Begitu juga teman-temannya, hanya melihatku dan Adi.
"Kamu pikir yang selama ini aku lakuin buat kamu itu apa? Aku menahan semua sakit hati yang kamu kasih, tapi ini balasan kamu? Kamu nggak tahu kan rasanya jadi aku? COBA KAMU JADI AKU! Mungkin kamu akan memilih untuk bunuh diri. Kemarin aku menunggumu, sampai kehujanan tapi kamu tak sedikit pun merasa bersalah kan, apa lagi peduli. Aku tahu aku ini memang perempuan bodoh yang maunya saja kamu sakiti dan tak berbuat apa-apa. Aku memang hanya bisa membuatmu malu. Selama ini kamu hanya menganggapku sampah kan! Aku memang hanya perempuan miskin yang tak punya apa-apa untuk aku berikan kepadamu. Tapi asal kamu tahu, aku punya cinta dan sayang yang tulus untuk kamu yang tidak semua orang bisa memberikannya. Sekarang lebih baik kita akhiri saja semuanya sampai di sini, itu kan maumu selama ini! Aku sudah lelah menjadi robotmu, lelah menjadi orang bodoh. Terimaksih untuk sakit hati yang selama ini kamu berikan untukku. Semoga suatu saat Tuhan mengajarimu untuk mengetahui bagaimana rasanya jadi aku, agar kamu bisa lebih menghargai orang yang tulus menyayangimu." tambahku. Amarahku benar-benar tidak bisa terbendung lagi. Sakit yang aku rasakan selama ini telah memuncak. Aku bergegas pergi, lari sekencang yang aku bisa. Kujatuhkan sepeda yang sedari tadi kupegangi. Makanan dan obat-obatan yang sudah aku siapkan untuk Adi jatuh berserakan. Kudengar dari belakang Adi memanggil-manggil namaku, dia mengejarku, namun tak ku pedulikan.
Adi yang sudah tidak bisa mengejarku lagi, kembali menuju makanan dan obat-obatan yang telah berserakan. Dia sadar bahwa selama ini apa yang dia lakukan padaku salah. Dia menangis, menyesali perbuatannya.
Setelah kejadian itu, aku mengisi hari-hariku dengan hal yang lebih bermanfaat. Aku aktif mengikuti kegiatan di sekolah. Waktuku bahkan hampir habis untuk sekolah. Aku kini menjadi pengurus OSIS, mengikuti berbagai ekstra dan lomba yang ada. Tidak hanya dalam kegiatan, prestasiku kini juga semakin gemilang. Aku mendapat beasiswa untuk bersekolah di Amerika. Semua ini berkat dukungan keluarga dan teman-teman. Akhirnya aku bisa terbebas dari keterpurukanku selama ini. Aku bisa membuktikan kepada Adi, kepada penggemar-penggemarnya yang dulu sering mencaciku, dan kepada semua orang bahwa aku bisa menjadi yang terbaik. Harusnya dari dulu aku seperti ini daripada hanya menyiksa perasaanku sendiri dan menjaga perasaan seseorang yang sama sekali tak peduli padaku.
Adi sekarang menjadi sering menghubungiku, dia selalu meminta maaf padaku. Dia mengajakku untuk menjadi pacarnya lagi, namun kurasa tidak lagi, semua itu sudah cukup. Aku ingin Adi bisa menjadi orang yang lebih bisa menghargai orang lain.
"Ingat, penyesalan tak mungkin ada di awal, tapi akan selalu berada di akhir. Jagalah apa yang saat ini kamu punya. Jangan pernah menyia-nyiakan orang lain yang secara tulus ada dan hadir untukmu. Belajarlah untuk menghargai orang lain jika dirimu ingin di hargai."
Salam sayang ^_^ : @aylamoca05
~THE END~
=))
BalasHapus